Rabu, 13 Agustus 2008

SAUDAGAR MINANG BADAGANG JO "MANGGALEH"

Badagang” bagi orang Minang sudah dikenal sejak lama. Malah dianggap “identik dengan sebutan yang melekat kepada “Orang Minang” itu. Karena bagi orang Minang, kiranya “Badagang” adalah suatu kebaikan, suatu idaman dan bukan suatu celaan.Di Minangkabau kata-kata “dagang” menyimpan banyak makna. Terkandung fasafah hidup yang utuh dan hidup. Dagang di Minangkabau, tidak hanya berarti “bussiness” (bisnis) tok. Kata ini bisa mengandung makna “marantau”, dengan tujuan yang pasti “mencari”. Bisa dalam arti sem­pit, sekedar mencari bekal untuk hidup sementara, bisa berarti mencari “kehidupan” dalam arti yang luas. Jadi jelas tidak hanya terbatas kebiasaan menyangkut (menggaet) materi semata. Bussines is only bussiness, kurang melekat di Minangkabau.Di “Ranah” ini, anak dagang tidak dianggap orang buangan. Dia dihormati sebagaimana adanya seorang manusia. Punya hak-hak tertentu. Mereka tidak akan dihardik atau dipermalukan. Dibuatkan “surau” tersendiri, bahkan diberi nama “surau dagang”. Penilaian orang Minang terhadap orang dagang, tidak terbatas kepada “negeri asal” si anak da­gang, tetapi kepada “kebaikan perilakunya di ranah ini, serta hasil karya-karyanya yang diterima sebagai “menantu” atau bahkan dipercayakan memikul tugas-tugas didalam “negeri”. Duduak samo-randah, tagak samo tinggi.Penilaian ini, dikarenakan “orang Minang” suka “badagang”. Badagang, juga berarti “berdagang” dalam arti yang sering dipakai ditangah balai”, “manggaleh”. Jual beli, tukar-menukar, dagang babelok, bertoko, dengan seluruh transaksi yang mencakup “rugi-laba”.“MANGGALEH”, suatu kosa-kata jarang tersua dalam penggunaan bahasa lain di Nusantara. Tepat dikatakan, yang tersua hanya dalam penggunaan istilah orang-Minang, atau merupakan kata-kata yang “khas”. Dari mana asalnya, kapan mulai penggunaannya, apa-apa saja yang terkandung dalam pesan kata ini, belum sempa diselidiki secara tuntas. Mungkin suatu ketika perlu dibahas, dalam sebuah forum “seminar” tentang “aspek manggaleh bagi orang Minang”.Manggaleh didalam paham orang Minang, adalah memeli­hara sebuah amanah. Mungkin, asal katanya dari “galeh” atau gelas”, yang diyakini sebagai satu produk “pecah-belah”. Sebagai mana lazimnya, sebuah produk pecah-belah, sudah pasti “mau pecah” dan “bisa belah”. Lebih jauh bisa berserakan, sudah hancur berantakan, maka tidak mungkin dipertautkan lagi. Karena itu, memegang gelas (manggaleh) perlu ada kiat, yakni “hati-hati” dan “selalu pandai memelihara”. Maklumlah yang dibawa adalah “barang yang mudah pecah, mudah pula hancur”, perlu sekali “ketelitian”.Kepada “Orang Minang” yang akan memulai “badagang”, dalam arti yang luas, dipesankan sebuah petuah dari orang tua-tua “HIYU BALI, BALANAK BALI, IKAN PANJAG BALI DAHULU, (dihulu)”, yang kemudian dirangkaikan dengan sebuah pesan (falsafah hidup), “IBU CARI, DUNSANAK CARI, INDUAK SAMANG CARI DAHULU”. Terkandung sebuah kaedah merantau bagi setiap putra Minang. Kalau dikampung halaman ditinggalkan ibu, maka ditanah perantauan ibupun harus dicari. Pelaja­rannya ialah, pandai menghormati “orang-tua” dimana saja. Selanjutnya “dunsanak” dengan pengertian “teman sejawat”, teman sama besar “sepergaulan”, bahkan “sesama tempat tugas”, harus dianggap sebagai saudara sendiri”. Makanya, telah menjadi kenyataan selama diperantauan itu, orang itu, orang Minang sering berkata “urang lain (terasa akrab) Labiah dari dunsanak (dikampung sendiri)”. Kemudian yang berikut, diperlukan “induak samang” yang erat kaitan­nya dalam istilah Bussiness-man, ialah “teman-berusaha”.Selama pesan-pesan ini kita anggap sebagai falsafah “badagang” bagi orang Minang, maka terlihat bahwa orang Minang tidak berdagang dengan membawa “modal fasilitas” atau “kartebeletje”. Atau dengan lebih dahulu “menggadai” dan “menjual” harta pusaka, sebagai “modal akumulasi”. Sama sekali tidak tersua hal seperti ini. Setidak-tidaknya semasa-doeloe.Orang Minang dalam “badagang” dengan arti “manggaleh”, memulai dari yang kecil menuju besar. Bukan dari besar, dengan manggulung dan melahap sesama besar. Kita sangat setuju dengan argumentasi AA.NAVIS (Singga­lang, No. 6187 Tahun XXIII, Sabtu 3 Agustus 1991/ 22 Muharram 1412, sebagai pengungkapan “moral bisnis” dibawah judul wawancara “Orang Minang Tak Pandai Bisnis Besar” (?), dimana AA. Navis berkata “URANG MINANG ITU PAIBO”.Caranya, ialah “SENTENG BABILAI, SINGKEK BA-ULEH, BATUKA BA-ANJAK, BARUBAH BASAPO”. Prinsipnya, sama-sama bekerja mencapai tujuan, bekerja sma mengangkat beban, saling mau perbaikan jika terlihat satu kesilapan.Kemudian dilanjutkan dengan sesuatu yang lebih “esensial” (mendasar) kata orang kini. “ANGGANG JO KEKEK CARI MAKAN, TABANG KA-PANTAI KADUO-NYO, PANJANG JO SINGKEK PA-ULEH-KAN, MAKO-NYO SAMPAI NAN DICITO”. Semua potensi yang ada, dalam hidup (badagang) digali dan dipertemukan, untuk mencapai suatu “kesuksesan” tanpa harus mengorbankan rasa persaudaraan, bahkan selalu menghargai “existensi” sebagaimana adanya. Karena itu, orang Minang” masih mema­kai kaedah-kaedah pergaulan yang nyaman, seperti “ADAIK HIDUIK TOLONG MANOLONG, ADAIK MATI JANGUAK MANJANGUAK, ADAIK LAI BARI MAMBARI, ADAIK TIDAK SALING MANYALANG (BA-SELANG-TENGGANG)”.Dan bagaimanapun kemelut yang terjadi, “sikap-paibo” itu, masih tercermin dalam peri-kehidupan bermasyarakat luas (”PAWAG BIDUAK NAK RANG TIKU? PANDAI MANDAYUANG MANALUNGKUIK, BASILANG KAYU DALAM TUNGKU DISINAN API MANGKO KA-IDUIK”, karenanya masyarakat Minang secara umum dengan kaedah/falsafah ini, hanya mengenal “kompetisi” (perlombaan rensi”, maju sendiri dengan menjatuhkan semua seteru (apa itu kawan bahkan lawan).Dikunci dengan satu perhatian : INGEK SABALUN KANAI, KALIMEK SABALUN ABIH, INGEK-INGEK NAN KA-PAI, AGAK-AGAK NAN KATINGGA !!! Jeli dan jelimet dengan perhitungan matang tentang manfaat sebuah tindakan, bagi yang badagang (manggaleh) maupun korong kampung yang ditinggalkan.Teranglah sudah, disini kita menemui suatu “mental-climate”, suatu iklim (suasana) sikap jiwa yang indah, subur dan bersih. Manusia Minang tidak hanya berpandangan sebagai “homo-ekonomicus” semata dengan mengabaikan “nilai-nilai budaya” yang diwarisinya. Bahkan tidak eco­nomics-animals.Namun, tidaklah pula bearti, bahwa “orang Minang” tertutup untuk menerima semua sistem yang dari luar, selama sistem itu baik, berguna dan menunjang pencapaian suatu keberhasilan, selama dapat dikaitkan kepada “pantas” dan “patut”. Mereka “badagang” dengan sebuah kompas yang jarumnya di arahkan “DIMA BUMI DI-PIJAK, DI-SINAN LANGIK DI-JUNJUNG”, artinya penyesuaian, situasional dan kondi­sional. Karena ini, mereka maju dan berkiprah disegala bidang. Sebuah mental-climate yang benar-benar indah, sesuai dengan “agama” dan adatnya. Syara’ mamutuih, adat mangato.Badagang jo Manggaleh, bagi putra Minangkabau sejak dahulu, dimulai dengan apa yang ada. Yang ada itu, ialah “alam” (alam takambang jadi guru), dan potensi-manusiawi. Secara awal ditanamkan “percaya diri” untuk melaksanakan idea “self-help”, kata para ekonomi dewasa ini.Mencukupkan dari apa yang ada, “tulang delapan karat” dan “moralitas” dengan panduan “Agama” serta “Adat”. Adat dan Agama berjalin berkelindan membentuk watak yang produktif , menuju “self-help” (menolong diri sendiri). Kemudian meningkat kepada “mutual-help”, berkiprah saling membantu orang keliling. TA’AA WANUU’ALAL BIRRI (bantu-membantu, ta’awun mutual-help) dalam pembagian pekerjaan (albirri/kebaikan). Membentuk suatu division of labour menurut keahlian masing-masing, jelas ini akan berdampak percepatan mutu yang dihasilkan. Kemudian akan menuju “take-off” dengan serba keberhasilan.Kerjasama yang terjalin rapi, dengan memfungsikan potensi yang riil, sungguh merupakan “kiat” keberhasilan manajemen. TUKANG NAN TIDAK MAMBUANG KAYU, NAN BUNGKUAK KA-SINGKA BAJAK, NAN LURUIH KA-TANGKAI SAPU, SA-TAMPOK KA-PAPAN TUAI, NAN KETEK PA-PASAK SUNTIANG”. Konklusinya, tidak ada yang terbuang, semua dapat dimanfaatkan sesuai kematangan dan kemampuan masing-masing, akan mengangkat “orang Minang” nan-badagang dari self-help kepada mutual-help itu. Manajemen seperti ini, terlihat nyata dalam usaha “lapau nasi” yang sangat digandrungi oleh pedagang Minang. Sejak dari “dapur”, hingga ke lemari pajangan, sampai “kemeja hidangan” yang terakhir “penerimaan uang” (banking/accounting). Seluruhnya berjalan secara otomatis, teratur, sama-sama bekerja (sama mempunyai kewajiban), dan dengan kerjasama itu, akhirnya kelak berhak mendapatkan pembagian, sesuai dengan modalnya masing-masing (tenaga, waktu dan uang). Tanpa exploitasi, tapi mutual-help dalam arti hakiki. Bentuk inilah yang secara akademis, kelak berkembang , dan dikembangkan menjadi satu bentuk “kopera­si”, dan sejarah Indonesia mencatat, mungkin bukan secara kebetulan, kalau Bapak Koperasi Indonesia adalah putra Minangkabau, MOHAMMAD HATTA (allahuyarham). Kiat mutual-help, sesuai sekali dengan bentuk ideal perekonomian menentang kapitalis (materi untuk materi), yang jelas dinegara kita ini sikap menumpuk modal hanya pada satu tangan dan untuk kemakmuran pihak konglomerat saja, pasti tidak akan diterima keberadaannya.Ada dua “pemeo” yang paling menyakitkan hati orang Minang, yaitu kalau dia dituduh badagang-cino”. Sebuah usaha tanpa memperhatikan kaedah-kaedah, terbenam dalam usaha mencari hidup dan berebut hidup, dan tidak ada kampung tempat pulang. Terbenam diperantauan, tidak ingat lagi anak kemenakan, tidak pernah berbuat baik ke-korong kampung, tidak pula mau tahu dengan lingkungan. Untuk mengantisipasi pemeo ini, dipesankan melalui petuah “HUJAN AMEH DI NAGARI URANG, HUJAN BATU DIP-NAGARI AWAK, KAMPUANG HALAMAN DIKANA JUO”.Karena itu, materi hasil “badagang” tidaklah untuk kesejahteraan sendiri, pemilik modal, tetapi harus dinik­mati juga oleh “orang kampung” nan jauah dimato.Pemeo kedua, yang menyakitkan itu, ialah “di-pagaleh-kan urang”. Yakni kehilangan jati-diri, yang bisa beraki­bat lebih fatal terhadap orang Minang itu sendiri (nan-di-pagalehkan urang), bisa berbuat “menjual kampung halaman” untuk kepentingan orang lain (penjajah/kolonial) dimasa itu.Jelaslah sudah, bahwa “badagang” jo “manggaleh” bagi orang Minang, punya falsafah mendalam, dan berurat berakar baginya dalam memilih secara teliti penerapan kiat manaje­men yang tengah berkembang. Karena akhir dari keberhasilan seseorang yang “badagang” atau “manggaleh” adalah “selfess help”, yaitu kesediaannya membantu orang lain (kampung halaman dan karib kerabat) dengan cara ikhlas (ihsan) tanpa memerlukan balasan apa-apa. Atau, sebagai kata orang “INDAK BA-UDANG DIBALIK BATU”, itulah selfess help, menu­rut istilabh orang berilmu.Sesuai dengan Firman Allah, “WA AHSIN KAMAA AHSANAL­LAHU ILAIKA WALAA TABHIL FASAA DA FIL ARDHI”, artinya “Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah (yang menciptakan manusia) telah memberikan segala bentuk kebaikan kepada kamu, (yakni berbuat selfless-help, membantu tanpa mengharapkan balasan). Dan Ingatlah, jangan sekali-kali kamu menjadi penabur bencana dipermukaan bumi; (Q.S. XXVIII Al-Qashash, ayat 77).Sekarang mampu-kah orang Minang masakini mengulang sejarah, mengelola Bisnis Besar, seperti masa lalu??? Jawabnya, tidaklah mustahil, kalau ada kemauan dan punya kesempatan. “MAMUTIAH CANDO RIAK DANAU, TAMPAK NAN DARI MUKO-MUKO, BATAHUN-TAHUN DIDALAM LUNAO, NAMUN NAN INTAN BACAYO JUO”.Alhamdulillah, orang Minang sampai kini, masih memi­liki “piala” yang belum berpindah ke tangan orang lain, yaitu orang Minang masih “pandai hidup”, “ALAH BAKARIH SAMPORONO, BINGKISAN RAJO MAJO-PAIK, TUAH BASARAB BAKARA­NO, DEK PANDAI BATENGGANG DI NAN RUMIK”.Kuncinya, barangkali pertajamlah observasi, tingkat­kan daya-fikir, dinamiskan daya-gerak, perhalus raso pareso, perkembang daya-cipta, dan bangkitlah kembali kemauan.Insya Allah, “Innallaha ma’ana”, Allah akan selalu menyertai kita. Amin